Hidup Amalia Yunita tidak bisa jauh dari alam. Mulai arung jeram dan sederet olahraga ekstrem sampai mendaki puncak tertinggi, dia lakoni. Merintis Arus Liar sejak 20 tahun silam, ibu tiga anak itu terus menyebarkan misi agar masyarakat sadar bahwa sungai dan gunung bukanlah tempat sampah.
USIA boleh lebih dari 40. Tetapi, jiwa petualang dan kepedulian terhadap sekitar terus menyala. Itulah yang membuat Amalia Yunita dianugerahi 20 Perempuan Inspiratif oleh brand kosmetik Wardah karena sumbangsihnya terhadap alam. Yuni –sapaan Amalia Yunita– merupakan pendiri dan CEO Arus Liar, penyedia wisata arung jeram di Sungai Citarik, Jawa Barat, sejak 1995.
Sejak muda, Yuni bersahabat dengan alam bebas. Aktif di kelompok pencinta alam saat berkuliah di Teknik Sipil Universitas Trisakti dan menjajal berbagai olahraga ekstrem, mulai panjat tebing, berlayar dengan perahu cadik dari Sulawesi sampai Jakarta, hingga kemudian menambatkan hati pada arung jeram. ’’Waktu saya lulus, banyak teman yang berkomentar, ’Ngapain susah-susah kuliah akhirnya jadi tukang dayung?.’ Kalimat itu saya ingat sampai sekarang, memacu saya untuk berbuat sesuatu dengan apa yang saya jalani,’’ ungkapnya.
Berkutat dengan sungai sejak 20 tahun silam, perempuan kelahiran Bandung, 15 Juni 1967, tersebut merasakan bahwa masih banyak PR (pekerjaan rumah) yang harus diselesaikan. Terutama soal kesadaran masyarakat menjaga kebersihan sungai. Kondisi sungai-sungai di Indonesia memprihatinkan. Sebab, sungai-sungai di Indonesia justru dijadikan tempat sampah. ’’Selama 20 tahun ini, saya setengah mati membersihkan Sungai Citarik. Masuk ke SD-SD, sosialisasi pendidikan kebersihan, tapi hasilnya belum begitu terasa,’’ kata Yuni.
Dia terus bersabar dan merangkul banyak pihak untuk mewujudkan misi peduli pada sungai. Yuni pun mengusung program-program yang mengarah pada pemanfaatan sampah sehingga bernilai ekonomis. Daerah di sekitar sungai menjadi zero waste. Salah satunya, program membuat teras di belakang rumah. ’’Penduduk di sekitar Sungai Citarik bisa melihat ke arah sungai, melihat banyaknya orang yang menikmati wisata sungai. Tujuannya, mereka tidak lagi membuang sampah ke sungai,’’ ujarnya. Dia juga merekrut penduduk sekitar menjadi karyawan.
Ibu tiga anak, Salsabila Altje Korua, 17; Ken Kiham Korua, 16; dan Kalif Kresna Korua, 12, tersebut sadar bahwa program itu tidak bisa berhasil dalam waktu singkat. Mungkin butuh satu generasi untuk menggerakkan masyarakat peduli bahwa sungai menjadi sumber penghidupan bagi semua.
Akhir tahun ini Yuni tengah menyiapkan gawe besar. Indonesia menjadi tuan rumah Kejuaraan Arung Jeram Tingkat Dunia (World Rafting Championship) pada November mendatang yang diikuti lebih dari 40 kontingen. Masalah kebersihan sungai masih membuatnya waswas.
’’Tahun lalu, ketika kita menggelar pra kejuaraan, ada kontingen Jepang yang bawa trash bag sendiri untuk mungutin sampah di sungai. Padahal, sebulan sebelumnya kita bersihkan. Sampai malu,’’ ucap Yuni.
Padahal, sebelumnya dia pernah berkunjung ke Afrika, tepatnya di Kilimanjaro, yang penduduknya punya tingkat pendidikan dan ekonomi lebih rendah daripada Indonesia. Namun, di sana tidak ada sampah sama sekali. Selain akrab dengan sungai, Yuni bersahabat dengan gunung. Sudah tidak terhitung jumlah gunung yang didaki, baik di dalam maupun luar negeri. Satu hal yang ingin dia wujudkan adalah gunung dan sungai bebas sampah.
Siapkan Ekspedisi ke Kutub Utara
YUNI tergabung dalam Female Trekkers for Lupus sejak 2006. Hal itu berawal dari obrolan saat kumpul-kumpul dengan sesama pendaki gunung perempuan yang di umur 30-an sangat aktif hiking. ”Kita lihat orang Jepang umur 60-an masih bisa hiking. Kenapa kita nggak? Karena selalu ada perasaan rindu kembali ke alam,” ujarnya.
Namun, kemudian Yuni dan teman-teman berpikir, kurang wise apabila hanya mendaki untuk kepuasan sendiri, padahal harus meninggalkan keluarga untuk waktu yang cukup lama. Harus ada sesuatu yang dihasilkan untuk orang lain. Akhirnya, tercetus misi untuk membantu penderita penyakit lupus. Kegiatan pendakian sekaligus penggalangan dana untuk Yayasan Lupus Indonesia.
Mengapa penyakit lupus yang dipilih? Alasannya, penyakit itu diderita 85 persen perempuan usia produktif. Karena gejalanya terselubung dan tidak secara langsung bisa dikenali, sering kali penderitanya tidak sadar sehingga terlambat diatasi. Ditambah lagi, salah seorang sahabat Yuni sesama pendaki perempuan juga didiagnosis menderita lupus.
Sampai saat ini, Female Trekkers sudah menyelenggarakan lima ekspedisi, yaitu Himalaya, Kilimanjaro, Ekuador, puncak gunung di garis khatulistiwa, dan Cartenz Jayawijaya. Setelah sempat absen di ekspedisi sebelumnya karena terkena musibah kebakaran saat barbequedi rumah, Yuni memutuskan ikut pendakian ke puncak Cartenz di pegunungan Jayawijaya, Papua. ”Itu sekitar 2011, pertama saya keluar rumah, setelah tidak boleh kena sinar matahari selama enam bulan,” kenangnya.
Yuni mengisahkan, saat mendaki Himalaya, dirinya pernah hampir mati karena mountain sickness. Namun, seperti dimudahkan, Yuni cepat mendapatkan pertolongan. ”Saya masih hidup sampai sekarang. Buat saya, itu karunia dan saya harus membayarnya dengan berbuat untuk alam dan sesama,” tutur perempuan yang juga aktif di team rescue tersebut.
Menaklukkan gunung di usia lebih dari 40-an tentu berbeda dengan ketika masih berusia 20-an. Secara fisik tidak sekuat dulu. Namun, tekad kuat untuk berbuat bagi sesama dan persiapan intens menjadikan semua itu bisa dilakukan. ”Didampingi pelatih, tiap pagi denyut nadi dikontrol. Kita lebih tahu diri juga, kalau sudah capek berhenti dulu, tidak memaksakan,” ucapnya. Setelah ini, dia dan teman-teman menyiapkan ekspedisi ke Kutub Utara. Persiapan dilakukan sejak sekarang. Meski, konsentrasinya harus terbagi dengan persiapan untuk kejuaraan rafting dunia.
Sumber : www.jawapos.com